Oleh: Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc,
Konsultan Sakinah Finance, Colchester – Inggris
SEBUAH iklan beredar di media sosial menawarkan produk kredit pesta pernikahan. Perlukah hingga demikian berhutang demi meriahnya suatu pesta yang konon diyakini meningkatkan martabat orangtua, kedua mempelai dan sanak keluarga?
Menikah ialah satu teknik untuk mengikut sunnah Rasulullah SAW namun tidak saja tata teknik menikah saja yang patut anda ikuti, usahakan urusan – urusan seputar pernikahan pun anda ikuti secara borongan (kaafah).
Persiapan pernikahan
Sebagian masyarakat Muslim di Indonesia menyiapkan pernikahan mulai dari mahar, jenis kartu undangan, acara tunangan (khitbah), hantaran lamaran, pesta pernikahan tergolong sewa gedung dan baju pengantin serta paket foto, cenderamata untuk tamu, baju seragam keluarga, bulan madu, lokasi tinggal yang bakal ditinggali dan tidak sedikit hal lainnya.
Biasanya yang stres ialah antara orangtua dan family besar, calon mertua dan family besar, serta kedua mempelai sendiri. Adapun kemauan untuk meramaikan acara seringkali datang dari orangtu atau anak, atau keduanya.
Pengantin baru Manis dan Bagus berbagi cerita: “Sebelum nikah, kami sih maunya pesta simpel aja, namun ya gitu deh, ortu maunya yang meriah. Biayanya ditanggung separo – separo antara dua keluarga.” Mereka menuliskan bahwa ongkos pernikahannya saat mengundang 1,000 tamu tergolong keluarga dekat menghabiskan ongkos hampir Rp. 500 juta rupiah dengan rincian kartu undangan dan biaya kirim Rp. 20juta, mas kawin (mahar) Rp. 75juta, paket pesta pernikahan Rp. 300juta, cenderamata tamu Rp. 20 juta, baju seragam family Rp. 25juta, dan paket bulan madu Rp. 60juta.
Manis melanjutkan bahwa terdapat juga duit yang masuk dari amplop yang diangkut tamu, selama Rp. 200juta, kado – kado serta bunga ucapan. Sebagian kado tidak terlampau digunakan, bunga perkataan apalagi, seringkali diambil lagi oleh pengirim bunga sesudah pesta usai. Sedihnya, pesta selesai dengan hutang 100juta!
Ketika Rasulullah SAW menikahkah putrinya
Fatimah Az-Zahra ra ialah putri keempat dari istri Rasulullah, Khadijah binti Khuwaliid. “Marhaban wa sahlan” itulah perkataan Rasulullah SAW untuk Ali bin Abu Thalib ra saat ia datang meminang Fatimah yang bermakna bahwa Rasulullah SAW menerima pinangannya. Maka menikahlah keduanya.
Pernikahannya paling sederhana berlokasi di lokasi tinggal yang sederhana, tidak terdapat musik dan hamburan kekayaan. Perabot rumahnya pun melulu ada kain beludru, bantal kulit mengandung rumput kering, penggilingan gandum, perangkat minum, dan dua buah wadah. Mahar yang diminta tidak lebih dari 12 uqiyah (HR Darimi No. 2103; Ibnu Majah No. 1877), atau selama 500 dirham, Rp. 35 juta nilai sekarang.
Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra ra, yang dinamakan sebagai Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) sebab selalu menghibur Rasulullah SAW di tengah penderitaannya dalam mensyiarkan Islam.
Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra ra, anak satu-satunya Rasulullah SAW yang dinamakan sebagai di antara dari empat perempuan terbaik di dunia yang namanya dihafal sesudah Asiyah, Maryam, dan Khadijah.
Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra ra, yang tidak jarang kali dipuji, dihirup tangan dan wajahnya kala berjumpa dengan ayahnya, Rasululllah SAW.
Jadi perlukah berhutang?
Bagi yang hendak menikah, hendaknya mengkaji lagi pesan – pesan Rasulullah SAW bahwa pernikahan ialah urusan mudah, tidak boleh menyusahkan siapapun juga, sampai-sampai akan bisa mengundang keberkahan.
“Sebaik-baik pernikahan merupakan yang sangat mudah” (HR. Abu Daud No. 1808) dan “Pernikahan yang sangat besar keberkahannya merupakan yang paling gampang maharnya” (HR. Ahmad No. 24595). Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang perempuan dengan seorang pria dengan mahar hafalan Qur’an, sebab sang lelaki melulu punya sehelai sarung, tidak dapat mencari walau suatu cincin besi (lihat HR Bukhari No. 5422; HR Nasa’i No. 3287; HR Darimi No. 2104).
Menyiarkan kabar pernikahan dan berbagi kegembiraan dengan sanak family dan tetangga serta semua teman dan sahabat ialah suatu yang dianjurkan, namun tidak boleh sampai memaksakan diri sampai berhutang. Anggaran simpel dapat diupayakan, contohnya dengan mengirim undangan digital yang didesain cantik, memakai rumah sebagai ajang menyambut tamu, dan masak memakai catering sederhana.
Karena ongkos makanan ialah porsi terbesar, terdapat baiknya adat dusun dilestarikan dimana ongkos pesta santap ditanggung bersama. Seperti yang dikisahkan oleh kawan kecil penulis, Fery Dubara bahwa tradisi membawa ayam dan beras masih terdapat di Baturaja, Sumatera Selatan, yang tidak boleh sampai diganti dengan tradisi moderen yang serba praktis dan materialitis katanya.
Kesimpulannya, menikah dengan teknik memaksakan diri laksana berhutang ialah tidak mengekor sunnah Rasulullah SAW. Banyak urusan yang mudharat dikomparasikan manfaatnya, belum lagi masalah riba sebab pinjamannya.
Mungkin sedangkan pengantin dan keluarganya ditinggikan khalayak ramai, sedangkan naik martabat di hadapan tamu, tetapi hina di mata Allah sebab ternyata orang yang bermartabat dan mulia ialah bukan dengan kekayaannya namun yang mulia ialah karena ketaqwaannya (QS. Al-Hujurat (49): 13). Selain mengenai hutang, tidak sedikit kisah makanan pesta yang tidak berakhir kemudian terbuang begitu saja (mubazir), serta menyarankan gaya tamu santap sambil berdiri. Itukah taqwa dan mengekor sunnah Rasulullah SAW? Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah! []